Sunday, December 2, 2012

’’Kakek Minta Saya Lari dan Jangan Menoleh ke Belakang’’

Quote:Prosesi penghormatan terakhir sembilan jenazah korban bentrok Lampung Selatan dihadiri puluhan sanak famili hingga tetangga korban. Suasana begitu haru menyelimuti keluarga korban. Beberapa kerabat terlihat meratapi dan meneteskan air mata saat pemberangkatan jenazah. Seperti apa prosesinya?
Laporan Ari Suryanto, BANDARLAMPUNG

Ritual kremasi jenazah korban bentrok di Desa Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Lamsel, dilangsungkan di Gedung Krematorium Yayasan Bodhisattva Lampung pukul 08.00 WIB kemarin (1/11).

Beberapa dari mereka, khususnya keluarga korban bentrok Waypanji, telah mendatangi tempat tersebut saat matahari belum muncul. Mereka tampak tegar sambil menunggu ambulans datang membawa jasad anggota keluarga mereka yang tersimpan di instalasi jenazah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung.

â??â??Kami sekeluarga sampai di tempat ini pukul 05.15 WIB. Sengaja datang pagi-pagi sekali dari Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling untuk mempersiapkan segala macamnya,â?? tutur Made Suwarse, salah satu kerabat korban.

Agenda yang sedianya digelar pukul 08.00 itu baru dapat dilangsungkan satu jam kemudian. Penyebabnya, keterbatasan armada pengangkut jenazah korban. Dua mobil jenazah yang mengantar korban harus mondar-mandir sebanyak tiga kali dari RSUDAM ke krematorium.

â??â??Semua jenazah kini telah berada di tempat. Ritual kremasi sudah bisa kita mulai sekarang,â?? ujar Panandita Umat Hindu Desa Balinuraga Jero Gede Bawati disusul tabuhan musik khas umat Bali. Kian ditabuh, nuansa haru kian terasa.

Kesembilan jenazah tidak dikremasi secara berbarengan. Melainkan dilangsungkan dalam lima tahapan. Pasalnya, ruang berbentuk segi delapan yang dijadikan sebagai tempat pembakaran hanya bisa memuat dua jenazah.

Sebelum jenazah diletakkan, terlebih dahulu peti mayat tersebut berputar tiga kali. Setelah itu barulah jenazah dikeluarkan dari peti dengan kepala menghadap ke arah laut untuk segera dilangsungkan proses kremasi.

â??â??Untuk kali terakhir, silakan pihak keluarga melihat wajah jenazah. Dengan syarat jangan sampai meneteskan air mata di tubuh jenazah,â?? ujar sang Panandita sebagai sosok yang dituakan tersebut.

Begitu jenazah siap dikremasi, keluarga di Krematorium Yayasan Bodhisattva Lampung dipersilakan duduk tidak terlalu dekat dengan tungku pembakaran untuk menghindari panasnya api. Satu proses kremasi jenazah memakan waktu sampai dua jam.

Selama menunggu proses kremasi itulah, seorang anak berusia delapan tahun, yakni Mengkuja Astawan, warga Desa Balinuraga, tiba-tiba bangkit dari tempat duduk serta langsung memegangi ujung salah satu peti dan menangis. Tak ada jeritan, tak ada isakan.

Namun, air mata sang bocah deras mengalir. Tampak sekali dia tengah menahan beban duka teramat berat. Sehingga tak mampu lagi berteriak, bahkan terisak.

Melihat ini, perempuan berusia sekitar 45 tahun yang semula duduk di samping sang bocah sontak menyusul. â??â??Ini peti kakeknya. Sedangkan yang di samping peti pamannya Astawan,â?? kata nya kepada Radar Lampung yang berada tepat di samping sang bocah.

Bocah kelas dua SD itu pun tiba-tiba melontarkan kalimat lirih. â??â??Waktu orang-orang pada ramai, saya sedang bersama kakek. Kakek terus meminta saya berlari sekencang-kencangnya menuju hutan. Kakek sendiri cuma jalan pelan karena sudah tua,â?? ujar dia.

Astawan melanjutkan, selama berlari, ia masih ingat pesan sang kakek untuk jangan sekalipun menolehkan wajah ke belakang. â??â??Terus berlari ke depan. Saya nggak boleh nengok. Kakek janji menyusul, tetapi ternyata nggak nyusul-nyusul,â??â?? tuturnya. (p2/c1/ary)


kasian gan... [imagetag] [imagetag] [imagetag]

sumber

Exspost News

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright @ 2013 Exspost News.

Designed by Templateify & Sponsored By Twigplay