Friday, October 26, 2012

Dua Rum, Sang 'Penjaga' Pintu Air Manggarai

Quote:[imagetag]
Nenek Rum saat memberi makan kucing peliharaannya di depan gubuknya, Jumat (26/10/2012). Gubuk yang telah ditempati selama puluhan tahun tersebut terletak di sisi Pintu Air Manggarai.

Quote:Dua gubuk reot berukuran 3 meter x 2 meter itu terletak bersisian tepat di sisi timur Pintu Air Manggarai. Di balik tumpukan kayu dan sampah yang diangkut dari aliran Kali Ciliwung yang melintasi pintu air itulah, Rum dan Rumoyik, dua perempuan renta, menyambung hidup. Entah sudah berapa lama keduanya menetap di tempat tersebut. Yang pasti keduanya setia menjadi "penjaga" pintu air yang mengamankan wilayah pusat pemerintahan Indonesia selama puluhan tahun.

"Kalau Mak Arum (Rumoyik), kata orang-orang, sejak zaman Gestapu (1965) udah di sini. Kalau Mak Rum sekitar tahun 1970-an," kata Neneng (52), pemulung yang sering mengumpulkan barang di lokasi tersebut.

Saat Kompas.com berkunjung ke pondokannya Jumat (26/10/2012) pagi, Rum masih terlelap dalam tidurnya. Tubuhnya yang sudah membungkuk seakan membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat.

"Biasanya mesin ini (eskavator) semalaman bunyi terus. Mungkin karena Idul Adha jadi enggak ada yang kerja. Jadinya, saya ketiduran sampai jam segini (08.15 WIB)," kata Rum.

Ia menjelaskan, Rumoyik sedang sakit dan Jumat pagi tadi pulang ke rumah keluarganya di Cibinong untuk berobat. Rumoyik yang kerap disapa Mpok Arum berusia lebih tua dari dirinya. Perempuan yang sudah enam tahun menjanda ini tidak mengetahui sejak tahun berapa dia menetap di tepi pintu air.

Dia pun sudah tak ingat umurnya. Beberapa pemulung yang menemani obrolan Kompas.com dan Mbok Rum, demikian ia disapa, memperkirakan usianya sekitar 80-90 tahun. "Pokoknya zaman pakaian dari karung dulu saya masih kecil. Kalau di sini pas Presidennya udah Pak Harto, bukan Bung Karno lagi," jelas Rum sambil membelai kucing-kucing peliharaannya.

Rum, Rumoyik, dan almarhum suami masing-masing berasal dari Cibinong. Sebelum menetap di pintu air, mereka tinggal dan bekerja di sekitar TPA Bantar Gebang. Namun, karena suami masing-masing kerap melakukan aktivitas memulung di Manggarai, terutama dari sampah yang tertampung di pintu air, mereka pun memutuskan untuk tinggal di situ.

"Dulu sempat metik sayuran, terus dijual di Pasar Minggu. Sekarang enggak kuat lagi jalan ke sana," kata Nenek Rum.

Alhasil, ia hanya mengandalkan pendapatan dari mengumpulkan "mainan", sebutan pemulung untuk barang-barang rongsokan yang laku dijual. Botol-botol plastik minuman kemasan yang terbuang ke Kali Ciliwung menjadi harapannya untuk menyambung hidup.


Berharap Daging Kurban

Sebagaimana kaum papa lainnya, Nenek Rum berharap bisa mendapat berkah Hari Raya Idul Adha berupa pembagian daging kurban. Namun, fisiknya yang telah termakan usia membuatnya tidak mampu mengantri dan berdesak-desakan dengan warga lainnya.

"Ya, pasti ngarepin jatah. Tapi, sekarang sudah nggak ada lagi," ujar Nenek Rum.

Sampai awal tahun 2000-an, ia dan warga bantaran kali Ciliwung lainnya masih disediakan jatah daging kurban dari beberapa masjid di sekitar lokasi tersebut. Namun, saat ini keberadaan mereka semakin terlupakan.

"Dulu sih ada jatah dari (Masjid) Sunda Kelapa atau dari masjid yang di Jalan Pegangsaan. Kalau sekarang harus pakai minta dulu," tutur Nenek Rum.

Meskipun belum mengajukan permintaan, Nenek Rum masih berharap ada pihak yang mau bermurah hati memberikan sedekah. Jika bukan dari masjid sekitar, ia masih bisa berharap dari rekan-rekan kerjanya, para pemulung yang lebih muda untuk berbagi dari sedikit jatah yang mereka dapatkan.


SUMBER


ane sedih banget gan dgn kisah hidupnya....terlebih sudah tak ada jatah daging kurban lagi...[imagetag]

Exspost News

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright @ 2013 Exspost News.

Designed by Templateify & Sponsored By Twigplay