Harian New York Times Amerika Serikat baru-baru ini memuat artikel tulisan ilmuwan Taiwan Shao Hanyi yang berjudul: Mengapa Jepang tidak berani ungkapkan fakta tentang masalah Pulau Diaoyu?
Dikatakan dalam artikel itu bahwa pembelian Pulau Diaoyu yang dilakukan Jepang belakangan ini sekali lagi memicu ketegangan situasi. Tiga bulan lalu, Duta Besar Jepang untuk Tiongkok Yuichiro Tanba ketika menanggapi tindakan Jepang itu menyatakan bahwa hal itu akan membawa hubungan Jepang-Tiongkok ke dalam krisis besar, tapi ia dikritik oleh Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara sebagai duta besar yang tidak pantas pada posisinya, dan perlu belajar sejarah negaranya sendiri dengan lebih baik.
Duta Besar Yuichiro Tanpa terpaksa menyatakan maaf atas pernyataan yang diucapkannya dan posisinya sebagai duta besar telah diganti belum lama berselang. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah meski Jepang suatu masyarakat plural, namun sentimen nasionalis yang kian marak sedang mengatasi pandangan yang moderat dan merintangi dialog yang rasional.
Pemerintah Jepang berkeras menganggap, berdasarkan hukum internasional dan pandangan sejarah, Pulau Diaoyu adalah wilayah Jepang. Pemerintah Jepang berkali-kali menegaskan kembali bahwa tidak ada sengketa wilayah. Meski dalam pandangan dunia terdapat sengketa besar mengenai masalah Pulau Diaoyu, namun pemerintah Jepang tetap menghindari fakta sejarah penting di balik pencantuman ilegal pulau tersebut ke dalam wilayah Jepang pada tahun 1895.
Pemerintah Jepang menyatakan, sejak tahun 1885, pemerintah Jepang dengan melakukan survei lapangan berkali-kali atas Pulau Diaoyu melalui pihak penguasa Okinawa dengan hati-hati mengkonfirmasi Pulau Diaoyu sebagai pulau tanpa manusia, dan tidak ada bekas tanda pernah didominasi Dinasti Qing.
Shao Hanyi telah menemukan 40 dokumen masa Meiichi dari museum dokumen pemerintah Jepang, museum dokumen sejarah diplomatik Kementerian Luar Negeri Jepang dan perpustakaan institut pertahanan Kementerian Pertahanan Jepang. Dari dokumen-dokumen itu dapat diketahui bahwa pemerintah Meiichi pada waktu itu menyadari sepenuhnya kedaulatan pemerintah Dinasti Qing atas Pulau Diaoyu.
Setelah melakukan survei lapangan pertama pada tahun 1885, menteri luar negeri Jepang ketika itu menulis: "Surat kabar Dinasti Qing baru-baru ini memuat berita yang mengungkapkan niat pemerintah Jepang untuk menduduki pulau-pulau milik Tiongkok yang terletak di dekat Taiwan, dan menaruh curiga terhadap Jepang serta mengingatkan pemerintah Tiongkok untuk menaruh perhatian terhadap hal itu. Bila pemerintah Jepang dengan terang-terangan menegakkan tonggak batas negara pada saat sekarang ini malah akan mengundang kecurigaan Tiongkok."
Gubernur Okinawa pada bulan November 1885 menyatakan: "Hal ini bukan tidak ada kaitannya dengan Dinasti Qing. Kalau terjadi sesuatu di luar dugaan, entah bagaimana harus menghadapinya, dengan sangat diharapkan agar diberikan instruksi."
"Mengingat masih belum dilakukan lagi survei atas berbagai pulau, gubernur baru Okinawa pada bulan Januari 1892 meminta angkatan laut mengirim kapal perang untuk melakukan survei, namun survei itu tidak terealisasi karena perintah militer tidak kunjung sampai dan cuaca yang buruk."
"Sejak survei yang dilakukan pihak kepolisian Prefektur Ryukyu tahun 1885, sampai sekarang belum dilakukan lagi survei lapangan", demikian tulis gubernur Okinawa pada tahun 1894.
Tiongkok mengalami kekalahan dalam perang tahun 1894, tertulis dalam sebuah dokumen Kementerian Luar Negeri Jepang bahwa "mengenai hal ini dulu pernah dikomunikasikan dengan Dinasti Qing........namun situasi sekarang sudah berbeda. Pemerintah Meiichi lalu meluluskan keputusan kabinet pada awal tahun 1895 untuk menduduki kepulauan tersebut.
Jepang belum pernah menghubungi Tiongkok berkenaan dengan masalah tersebut, dan keputusan yang diluluskan secara rahasia pada masa perang tahun 1894 itu belum pernah diumumkan kepada masyarakat.
Shiro Koga adalah penduduk sipil pertama yang menyewa kepulauan itu dari pemerintah Meiichi. Ia dalam biografinya menyebut pendudukan Jepang atas kepulauan tersebut sebagai "hasil kemenangan kerajaan" Jepang.
Dokumen-dokumen resmi itu dengan jelas menunjukkan, dasar pendudukan pemerintah Meichi atas kepulauan itu bukan "survei lapangan berkali-kali", melainkan adalah pencaplokan kepulauan tersebut sebagai hasil kemenangan perang. Kenyataan yang tidak ingin diungkapkan kepada masyarakat internasional itu sengaja dihindari oleh pemerintah Jepang sekarang ini.
Jepang menyatakan, kedua tepi ( Selat Taiwan) setelah Perang Dunia II tidak menentang perwalian Amerika Serikat atas Kepulauan Ryukyu. Ini adalah kenyataan, tapi yang tidak disinggung oleh Jepang adalah bahwa kedua tepi selat bukan pihak-pihak penandatangan Perjanjian Perdamaian San Francisco tahun 1951, dan Amerika Serikat justru mendapatkan hak yurisdiksi atas daerah tersebut berdasarkan perjanjian itu.
Ketika memasukkan Pulau Diaoyu ke dalam wilayah Jepang melalui keputusan kebinet tahun 1985, Jepang memasukkan kepulauan yang tadinya berafiliasi dengan Taiwan itu ke dalam Prefektur Okinawa. Selain itu, nama "Shinkaku" diberikan oleh ilmuwan Jepang Koroiwa Ko pada tahun 1900, yang kemudian digunakan oleh pemerintah Jepang. Ketika Jepang mengembalikan Taiwan kepada Tiongkok setengah abad kemudian, Tiongkok dan Jepang tetap menggunakan catatan pembagian daerah administrasi Taiwan pada masa penjajahan Jepang sebelum tahun 1945. Justru karena itulah, pihak Tiongkok tidak tahu menahu tentang "Kepulauan Shinkaku" yang tanpa penghuni, yang pada kenyataannya adalah Pulau Diaoyu dalam sejarah itu. Hal ini juga menjelaskan mengapa kedua tepi selat mengajukan protes yang terlambat terhadap perwalian Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.
Pemerintah Jepang sering menggunakan dua dokumen sebagai dasar untuk membuktikan bahwa Tiongkok tidak memandang kepulauan tersebut sebagai wilayahnya. Dokumen pertama adalah surat pernyataan terima kasih konsul Tiongkok untuk Nagasaki tanggal 20 Mei 1920 yang antara lain memasukkan kepulauan tersebut ke dalam lingkup "Kekaisaran Jepang".
Padahal, kedua tepi selat tidak menyangkal bahwa Pulau Diaoyu bersama seluruh Pulau Taiwan pada waktu itu berada di bawah penjajahan Jepang, namun berdasarkan persetujuan sehabis Perang Dunia II, Jepang harus mengembalikan wilayah yang dicurinya dari Tiongkok, dan mengembalikan status hukum wilayah tersebut seperti sebelum tahun 1895.
Dasar kedua adalah peta Tiongkok tahun 1958 yang tidak memasukkan Pulau Diaoyu dalam wilayah Tiongkok. Namun pemerintah Jepang hanya menunjukkan bagian peta, tanpa menyebut keterangan penting pada halaman hak cipta bahwa "sebagian garis perbatasan negara Tiongkok dipetakan berdasarkan peta yang disampaikan untuk diizinkan sebelum perang anti-Jepang."
Catatan resmi Dinasti Qing (1644�1911) juga membuktikan bahwa Pulau Diaoyu sebelum tahun 1895 adalah wilayah Tiongkok. Catatan pemerintah daerah Taiwan dari berbagai zaman dengan jelas menulis bahwa pelabuhan Diaoyutai yang dalam bisa dirapati 10 kapal besar, dan berada dibawah yurisdiksi Dinas Administrasi Gemalan, Taiwan.
Hak untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya merupakan landasan setiap negara demokratis. Masyarakat Jepang berhak mengetahui sisi lain daripada cerita. Bagaimanapun yang menimbulkan krisis terbesar sekarang ini adalah politisi yang membakar emosi masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan nasional, dan bukan kepulauan itu sendiri.
Sumber : CRI
Komentar : bingung juga ama sejarah
Tuesday, October 23, 2012
2:38 AM
Surat Kabar AS: Mengapa Jepang Tidak Berani Ungkapkan Fakta Tentang Masalah P. Diaoyu
Exspost News
No comments
MR: EDITOR
Exspost News
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment